Bukan Waktunya Tuding-menuding
Semakin
hari wabah global pandemi covid-19 ini menunjukkan grafik yang semakin
meningkat. Khususnya di negeri kita, Indonesia tercinta ini. Berita yang
tersajikan pun beragam macamnya. Mulai dari angka penyebaran, bagaimana cara
mencegah, cara memutus mata rantai, dan cara menanganinya, sudah banyak
tersebar di media-media sosial. Baik yang sifatnya resmi dari pemerintah dan
lembaga-lembaga terkait, atau dari setiap orang yang mungkin “merasa” memiliki
keawajiban dan tergerak untuk menyampaikan berita.
Pesan-pesan
berantai di WhatsApp dan lainnya pun semakin hari semakin marak. Sampai-sampai
ada meme yang tersebar, “buka FB virus corona, buka IG virus corona, buka WA
virus corona, sekali buka dompet virus merana”.
Untuk
yang disebutkan terakhir ini memang cukup signifikan “penurunan”nya. Apalagi
bagi kaum-kaum menengah ke bawah yang nota beninya pekerja harian untuk nafkah
keluarga. Kemudian mengikuti arahan pemerintah untuk tidak keluar rumah. Sekali
keluar beli bahan-bahan dapur yang cukup banyak untuk persiapan beberapa hari
ke depan. Otomatis ketika buka dompet langsung merana.
Sebuah
contoh di lapangan, teman saya ada yang memakai jasa belanja online, ketika
terjadi percakapan antara si pembeli dan si kurir, si kurir sempat berkata yang
tak sepenuhnya dapat dibenarkan dan juga tak bisa disalahkan.
“Nuruti
corona yo gak mangan”, celetuknya.
Menanggapi
ucapan seperti ini kita harus memiliki hati yang lembut. Tidak serta merta kita
harus bilang kepada mereka, “Mangan gak mangan iku urusane Gusti Alloh!”
Masak iya kita se-saklek itu menanggapinya. Tapi jawaban semacam itu jangan
dikira ndak ada, lebih keras pun ada yang berani jawab. Coba!
Ya
memang sih urusan makan (atau bahasa resminya rezeki) sudah diatur oleh Alloh.
Selama manusia hidup, rezekinya sudah ditetukan oleh Sang Pencipta. Tetapi jika
dihadapkan pada kejadian nyata seperti ini, kita tak boleh langsung ngegas pada
mereka. Itu bukan mengurai masalah tapi menambah masalah.
Apalagi
jika mereka para buruh harian yang mana untuk makan sehari-hari keluarganya
harus melalui jalanan setiap hari. Soalnya ada juga teman saya yang hidupnya
jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, dia bilang begini, “Iyo sampean pegawai gak
metu omah gak popo, wong oleh gaji. Lah awak dewe arep mangan kudu nyangkul
disek, ngarit disek.”
Tapi
gitu itu juga ada yang berani jawab, “lah gak nduwe tabungan ta? Cuma 14
hari tok lho!” Boro-boro tabungan, mau beli garam saja kadang cari utangan.
Pesan-pesan
yang tersebar tersebut entah sebagai bentuk kepedulian kepada sesama atau
sebagai bentuk dari “kepanikan” yang tak terbendung di pikirannya sendiri
sehingga harus dishare supaya menjadi “obat” tersendiri dari rasa khawatirna. Atau
bisa jadi juga iseng, ikut-ikutan ngeshare, latah dan semacamnya.
Bahkan
yang tak kalah membuat semakin heboh dunia persilatan, eh suasana saat ini,
adalah kalimat-kalimat yang saling “menyalahkan” pihak-pihak tertentu. Tuding-menuding
pun menjadi menu sajian harian yang terpaksa dilahap juga. Dari yang bernada guyonan,
satire, dll. Apalagi ketika melihat angka-angka yang positif dan jumlah
kematian yang cukup banyak, semakin menjadi bumbu penyedap sajian tersebut.
Terakhir,
saya sisipkan broadcast yang sampai ke WA saya, entah benar atau tidak saya
juga tidak tahu. Tetapi isinya sangat penting untuk dijadikan perenungan,
“Sepupu
saya yang kuliah di Cina kirim email ke saya dan ngomong begini: “Disini
(wuhan) kami sangat cepat untuk bangkit (recovery), karena kami saling
menyemangati. Kami tidak memberitakan berita kematian, yang kami beritakan
adalah berita kehidupan dan berita kesembuhan. Namun kenapa Iren, netizen di
Indo lebih memilih memberitakan berita ketakutan? Apakah mereka memang ingin
membunuh saudaranya sendiri?”.”
Nah,
sekarang tergantung kawan-kawan semua, masih mau menebar ketakutan dan
kepanikan atau menyebarkan ketenangan. Makanya, kata pesan di medsos juga, “saring
dulu sebelum sharing”. Agar kita tidak termasuk orang-orang menebar
ketakutan dengan cuitan, komentar, celetuk dan semacamnya.
Jangan
pula saling menyalahkan, sebab kini bukan waktunya tuding-menuding ini salahnya
si ini, salahnya si itu. Tapi saatnya saling bahu-membahu untuk memutus mata
rantai, membantu dan mendo’akan kita semua.
Fery Fadly Jauhari Penyair asal Sumenep. Kini tinggal di Surabaya. Buku Puisinya akan terbit dalam waktu dekat.
Tidak ada komentar: