Bukan Waktunya Tuding-menuding

Selasa, Maret 24, 2020
Semakin hari wabah global pandemi covid-19 ini menunjukkan grafik yang semakin meningkat. Khususnya di negeri kita, Indonesia tercinta ini. Berita yang tersajikan pun beragam macamnya. Mulai dari angka penyebaran, bagaimana cara mencegah, cara memutus mata rantai, dan cara menanganinya, sudah banyak tersebar di media-media sosial. Baik yang sifatnya resmi dari pemerintah dan lembaga-lembaga terkait, atau dari setiap orang yang mungkin “merasa” memiliki keawajiban dan tergerak untuk menyampaikan berita.

Pesan-pesan berantai di WhatsApp dan lainnya pun semakin hari semakin marak. Sampai-sampai ada meme yang tersebar, “buka FB virus corona, buka IG virus corona, buka WA virus corona, sekali buka dompet virus merana”.

Untuk yang disebutkan terakhir ini memang cukup signifikan “penurunan”nya. Apalagi bagi kaum-kaum menengah ke bawah yang nota beninya pekerja harian untuk nafkah keluarga. Kemudian mengikuti arahan pemerintah untuk tidak keluar rumah. Sekali keluar beli bahan-bahan dapur yang cukup banyak untuk persiapan beberapa hari ke depan. Otomatis ketika buka dompet langsung merana.
Sebuah contoh di lapangan, teman saya ada yang memakai jasa belanja online, ketika terjadi percakapan antara si pembeli dan si kurir, si kurir sempat berkata yang tak sepenuhnya dapat dibenarkan dan juga tak bisa disalahkan.

Nuruti corona yo gak mangan”, celetuknya.

Menanggapi ucapan seperti ini kita harus memiliki hati yang lembut. Tidak serta merta kita harus bilang kepada mereka, “Mangan gak mangan iku urusane Gusti Alloh!” Masak iya kita se-saklek itu menanggapinya. Tapi jawaban semacam itu jangan dikira ndak ada, lebih keras pun ada yang berani jawab. Coba!

Ya memang sih urusan makan (atau bahasa resminya rezeki) sudah diatur oleh Alloh. Selama manusia hidup, rezekinya sudah ditetukan oleh Sang Pencipta. Tetapi jika dihadapkan pada kejadian nyata seperti ini, kita tak boleh langsung ngegas pada mereka. Itu bukan mengurai masalah tapi menambah masalah.

Apalagi jika mereka para buruh harian yang mana untuk makan sehari-hari keluarganya harus melalui jalanan setiap hari. Soalnya ada juga teman saya yang hidupnya jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, dia bilang begini, “Iyo sampean pegawai gak metu omah gak popo, wong oleh gaji. Lah awak dewe arep mangan kudu nyangkul disek, ngarit disek.”
Tapi gitu itu juga ada yang berani jawab, “lah gak nduwe tabungan ta? Cuma 14 hari tok lho!” Boro-boro tabungan, mau beli garam saja kadang cari utangan.

Pesan-pesan yang tersebar tersebut entah sebagai bentuk kepedulian kepada sesama atau sebagai bentuk dari “kepanikan” yang tak terbendung di pikirannya sendiri sehingga harus dishare supaya menjadi “obat” tersendiri dari rasa khawatirna. Atau bisa jadi juga iseng, ikut-ikutan ngeshare, latah dan semacamnya.

Bahkan yang tak kalah membuat semakin heboh dunia persilatan, eh suasana saat ini, adalah kalimat-kalimat yang saling “menyalahkan” pihak-pihak tertentu. Tuding-menuding pun menjadi menu sajian harian yang terpaksa dilahap juga. Dari yang bernada guyonan, satire, dll. Apalagi ketika melihat angka-angka yang positif dan jumlah kematian yang cukup banyak, semakin menjadi bumbu penyedap sajian tersebut.

Terakhir, saya sisipkan broadcast yang sampai ke WA saya, entah benar atau tidak saya juga tidak tahu. Tetapi isinya sangat penting untuk dijadikan perenungan,

“Sepupu saya yang kuliah di Cina kirim email ke saya dan ngomong begini: “Disini (wuhan) kami sangat cepat untuk bangkit (recovery), karena kami saling menyemangati. Kami tidak memberitakan berita kematian, yang kami beritakan adalah berita kehidupan dan berita kesembuhan. Namun kenapa Iren, netizen di Indo lebih memilih memberitakan berita ketakutan? Apakah mereka memang ingin membunuh saudaranya sendiri?”.”

Nah, sekarang tergantung kawan-kawan semua, masih mau menebar ketakutan dan kepanikan atau menyebarkan ketenangan. Makanya, kata pesan di medsos juga, “saring dulu sebelum sharing”. Agar kita tidak termasuk orang-orang menebar ketakutan dengan cuitan, komentar, celetuk dan semacamnya.

Jangan pula saling menyalahkan, sebab kini bukan waktunya tuding-menuding ini salahnya si ini, salahnya si itu. Tapi saatnya saling bahu-membahu untuk memutus mata rantai, membantu dan mendo’akan kita semua.

Fery Fadly Jauhari Penyair asal Sumenep. Kini tinggal di Surabaya. Buku Puisinya akan terbit dalam waktu dekat.  



Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.