Cara Mendidik Orang Jawa dan Ketegasan Pak To

Kamis, Juli 07, 2016
Kemandirian anak dalam bersikap agaknya perlu dibangun sejak dini. Kasus pelaporan pencubitan tempo hari yang menyeret seorang guru ke penjara adalah alat perenungan penting untuk pendidikan kita ke depan.

Mesti kita sadari bahwa sekolah hanyalah cakupan kecil dalam pendidikan. Orang tua punya peran dan tanggungjawab dalam menanamkan sikap kepada anak. Salah satunya adalah kemandirian anak dalam menghadapi problem mereka. Orang tua tidak begitu saja menjadi tameng dan tempat bernaung. Memberikan informasi kepada mereka mungkin saja penting, tapi penuntasan problem harus tetap dihadapi secara pribadi.

Kadang sikap orang tua terhadap anak terlalu protektif. Pembelaan terhadap anak dilakukan terlalu berlebihan hingga kebenaran yang absolut seolah-olah di tangan anak mereka. Pelaporan yang dilakukan oleh orang tua SS “barangkali” karena faktor itu. Sikap tersebut seringkali tidak disadari membawa dampak buruk pada mentalitas anak kelak di masa mendatang. Ia akan terus bergantung pada bantuan orang tua dan tidak berbiasa menuntaskan problemnya sendiri.

Jika kita mau sedikit saja melihat cara orang jawa ketika anak menghadapi masalah. Kita akan tahu bahwa sejak dini, anak sudah dididik untuk mendiri dalam menghadapi masalah. Kalau anak menangis karena berkelahi dengan anak tetangga, misalnya, lantas mengadu bapak atau emaknya. Yang dimarahi bukan anak tetangga, tapi dia sendiri. Bagaimanapun caranya, anak tidak mendapat ruang pembelaan dari orang tua dalam problem yang mereka hadapi. Ia sedemikian disudutkan untuk melahirkan mental kuat dan tidak terus bergantung kepada orang tua. Dan dalam kemarahan itu, orang tua senantiasa menyelipkan pesan untuk menghadapi jika esok hari masalah yang sama kembali datang. Dari hal tersebut, anak juga diajari untuk tidak terus merasa benar dengan apa yang mereka lakukan dan tidak mudah menyalahkan orang lain. Memang terlihat agak pahit, tapi kadang pendidikan perlu itu. 

Dan sebelum kasus SS terjadi, saya dengan mata kepala dan telinga saya sendiri melihat serta mendengar cara mendidik Pak To –tetangga di Tambak Bening- ketika anaknya mengadu. Ardi, anak keduanya itu baru kelas TK B. Kira-kira begini dialognya.

“Pak, aku “dianu” arek iku lo”
“Lapo kon kondo bapak”
Anaknya diam.

“Ojo kondo Bapak, kon wani ta gak karo arek’e? Nek wani ojo kondo Bapak. Parani arek’e. Nek ora wani ya ra usah dulen-dulen, lapo dolan nek nangis, nek ra wani nang omah wae ra usah dulen”

Mbuk, saya dengan bahagia bertepuk tangan dalam hati. Cocok! Meski terlihat agak keras, tapi esok hari, anaknya pasti akan mengambil sikap yang tidak bergantung pada pembelaan orang tua. Ketegasan macam –ingat, macam itu. Pada ketegasan, bukan isi dialognya- Pak To itulah yang barangkali bisa disesap dan jika memungkinkan, bisa dipraktikkan kepada anak Anda.
Hidup Pak To.

#Pak To untuk Indonesia 



Ahmad Yusuf Tamami Founder percik.id. Penulis rubrik suluh Majalah MAYAra, Surabaya. Anggota Komunitas Belajar Waskita Islamiyah. 



1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.