Cara Mendidik Orang Jawa dan Ketegasan Pak To
Mesti
kita sadari bahwa sekolah hanyalah cakupan kecil dalam pendidikan. Orang tua
punya peran dan tanggungjawab dalam menanamkan sikap kepada anak. Salah satunya
adalah kemandirian anak dalam menghadapi problem mereka. Orang tua tidak begitu
saja menjadi tameng dan tempat bernaung. Memberikan informasi kepada mereka
mungkin saja penting, tapi penuntasan problem harus tetap dihadapi secara
pribadi.
Kadang
sikap orang tua terhadap anak terlalu protektif. Pembelaan terhadap anak
dilakukan terlalu berlebihan hingga kebenaran yang absolut seolah-olah di
tangan anak mereka. Pelaporan yang dilakukan oleh orang tua SS “barangkali”
karena faktor itu. Sikap tersebut seringkali tidak disadari membawa dampak
buruk pada mentalitas anak kelak di masa mendatang. Ia akan terus bergantung
pada bantuan orang tua dan tidak berbiasa menuntaskan problemnya sendiri.
Jika
kita mau sedikit saja melihat cara orang jawa ketika anak menghadapi masalah.
Kita akan tahu bahwa sejak dini, anak sudah dididik untuk mendiri dalam
menghadapi masalah. Kalau anak menangis karena berkelahi dengan anak tetangga,
misalnya, lantas mengadu bapak atau emaknya. Yang dimarahi bukan anak tetangga,
tapi dia sendiri. Bagaimanapun caranya, anak tidak mendapat ruang pembelaan
dari orang tua dalam problem yang mereka hadapi. Ia sedemikian disudutkan untuk
melahirkan mental kuat dan tidak terus bergantung kepada orang tua. Dan dalam
kemarahan itu, orang tua senantiasa menyelipkan pesan untuk menghadapi jika
esok hari masalah yang sama kembali datang. Dari hal tersebut, anak juga
diajari untuk tidak terus merasa benar dengan apa yang mereka lakukan dan tidak
mudah menyalahkan orang lain. Memang terlihat agak pahit, tapi kadang
pendidikan perlu itu.
Dan
sebelum kasus SS terjadi, saya dengan mata kepala dan telinga saya sendiri
melihat serta mendengar cara mendidik Pak To –tetangga di Tambak Bening- ketika
anaknya mengadu. Ardi, anak keduanya itu baru kelas TK B. Kira-kira begini
dialognya.
“Pak,
aku “dianu” arek iku lo”
“Lapo
kon kondo bapak”
Anaknya
diam.
“Ojo
kondo Bapak, kon wani ta gak karo arek’e? Nek wani ojo kondo Bapak. Parani
arek’e. Nek ora wani ya ra usah dulen-dulen, lapo dolan nek nangis, nek ra wani
nang omah wae ra usah dulen”
Mbuk,
saya dengan bahagia bertepuk tangan dalam hati. Cocok! Meski terlihat agak
keras, tapi esok hari, anaknya pasti akan mengambil sikap yang tidak bergantung
pada pembelaan orang tua. Ketegasan macam –ingat, macam itu. Pada ketegasan,
bukan isi dialognya- Pak To itulah yang barangkali bisa disesap dan
jika memungkinkan, bisa dipraktikkan kepada anak Anda.
Hidup
Pak To.
#Pak
To untuk Indonesia
Ahmad Yusuf Tamami Founder percik.id. Penulis
rubrik suluh Majalah MAYAra, Surabaya. Anggota Komunitas Belajar Waskita
Islamiyah.
Nek Kondo pak guru yo podo ta?
BalasHapus