Memulai Malu: Belajar dari Produktifitas Abuya Luthfi
Akhir-akhir
ini, Abuya Miftahul Luthfi Muhammad rutin mengirim tulisan untuk buku terbaru
beliau. Sudah berjalan sekitar 3 bulan, dan sudah siap menjadi 2 buku baru.
Bukan perkara baru sebenarnya, sebab buku "Ritmis Gampar Omda" yang
beliau tulis juga bermula dari pola semacam ini.
Setiap hari, setidaknya beliau mengirim kurang lebih 5 judul tulisan. Hanya untuk buku ini saja. Selebihnya, barangkali beliau tetap menulis untuk buku lain yang beliau siapkan. Produktifitas yang bagi penulis pada umumnya pun bukan perkara yang umum. Tak heran, sudah 128 buku yang beliau terbitkan.
Sebelumnya
beliau mengirim tulisan ketika sudah siap menjadi buku. Mungkin karena
mobilitas, beliau kini banyak menulis dengan smartphone. Agar tidak kehilangan
momen munculnya "bersitan" yang harus dituangkan. Dari
bersitan-bersitan itu saja tulisan yang terlahir sebegitu banyaknya. Belum yang
memang beliau pola untuk menjadi sebuah buku khusus.
Tapi saya haqqul yakin, bersitan itu tidak ditulis secara "lagaran". Pasti ada buku berjejer dan bertumpuk yang beliau referensi. Apalagi daya baca beliau begitu kuat. Buku-buku senantiasa tersedia di berbagai ruangan.
Kalau "dituruti" tentu buku yang beliau terbitkan berderet panjang dan tidak ada waktu berhenti menyiapkannya masuk cetak. Padahal beliau pernah dawuh, "sudah menurunkan intensitas menulis dan belajar". Intensitas sudah diturunkan saja masih seproduktif ini. Apalagi tidak.
Maka, demi tak menjadi pisau roti (mengenai pisau roti, bisa dibaca di buku "Quotes Ramanda"). Harus ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Toh beliau juga tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa ada dasarnya, meski seringkali tidak mengungkapkannya.
Wallohu a'lam, bagi saya pribadi, ini adalah cara beliau memotivasi untuk juga terus menulis. Saya sendiri yang secara mandiri punya kewajiban untuk tahu diri dan memulai malu. Bagaimana beliau bisa melaju sedemikian cepat, sedang saya sama sekali tidak bergerak.
Sudah selayaknya, cara ini, pola ini, memberikan satu pembelajaran kontinuitas dalam menulis dan menuangkan gagasan. Sebab sering sekali Romo dawuh, cara untuk meningkatkan dan mengikat pengetahuan adalah dengan menulis. Pada praktiknya, hampir bisa dikatakan sebagai nol koma jika dibandingkan waktu yang ada.
Dalih-dalih pembelaan serta alasan tidak menulis tidak layak diajukan untuk meloloskan diri dari perasaan bersalah. Sebab perasaan bersalah terkadang penting sebagai lecutan perbaikan.
Kalau rasa malu tidak segera mulai "diadakan", rasa-rasanya tekad dan i'tikad untuk berusaha kontinu menulis tidak akan pernah tersedia. Tentu saja dengan segala keterbatasan dan kekurangan sebagai manusia. la haula wa la quwwata illa billahil 'aliyyil adzim.
Itu pula yang kemudian bisa menjadi pelajaran bagi
santri, murid, dan jama’ah Ribath al-Ibadah al-Islamy asy-Syarif yang diampu
oleh Abuya Miftahul Luthfi Muhammad. Mengetahui dan menyadari produktifitas
beliau melalui sebagian pola dan caranya adalah alat yang tepat untuk memulai malu dan
melecut diri, bergerak di belakang beliau. Memberikan “sesuatu” dengan
menulis.
Ahmad Yusuf Tamami Founder percik.id. Penulis
rubrik suluh Majalah MAYAra, Surabaya. Anggota Komunitas Belajar Waskita
Islamiyah.
BarokALLOH. Matur nuwun share ilmunipun Gus Yusuf.
BalasHapus