Jemuran Pak Kiai

Senin, Maret 23, 2020
Suatu ketika, Zaidun, salah seorang santri diutus oleh Pak Kiai untuk mengambil jemuran pakaian di lantai atas pondok pesantren. Tugas belum selesai, dari bawah lantai atas, Bu Nyai yang sedang memasak memanggil dan menyuruhnya untuk belanja gas elpiji yang habis. Sejurus kemudian dia meletakkan jemuran pakaian di dalam ember cucian dan meletakkannya dibawah tali jemuran begitu saja. Tanpa ba-bi-bu berangkatlah dia ke toko kelontong langganan santri yang biasa melayani para santri.

Suasana warung kelontong tidak seperti biasa, ramai dengan berita heboh virus yang menyebarluas di bumi. Silang pendapat para pelanggan menyembul begitu saja di antara mereka, termasuk Zaidun, yang dimintai pendapat Ko Cuan pemilik toko tersebut. Dia meminta jawaban kepada Zaidun bagaimana cara santri mencegah virus tersebut bisa menular? Wudlu, jawab Zaidun. Karena dengan menjaga wudlu otomatis orang yang memiliki wudlu tidak sembarangan bersentuhan dengan benda yang membatalkan wudlunya.

Wah, suasana tersebut membuat Zaidun girang karena mendapat apresiasi para audiens di warung. Dengan wajah tersenyum dia pulang membawa pesanan Bu Nyai. Dengan cekatan ia memasang elpiji yang baru saja dibelinya. Selesai melaksanakan tugas dari Bu Nyai, ia bergegas membuka kamarnya dan membuka kitab bab wudlu. Ada satu pertanyaan bab wudlu yang ragu dijawabnya ketika salah seorang pembeli di toko Ko Cuan. Walhasil, selesai membaca dan menelaah kitab tersebut dia berhasil menemukan jawaban dan menyalinnya di secarik kertas.

Adzan Ashar telah berkumandang bersamaan hujan deras yang datang tiba-tiba. Zaidun bersiap sholat berjamaah di masjid pondok pesantren. Santri lain sudah menunggu di sof depan, begitu juga Zaidun. Pujian menunggu sholat berjamaah berhenti ketika Pak Kiai datang menuju imaman masjid. Rampung sholat berjamaah, Pak Kiai bertanya kepada Zaidun:

“Dun, bajunya sudah kamu bawa turun???”

Suara Pak Kiai terdengar menggelegar di telinga Zaidun. Kagetnya bukan main. Keringat sebiji jagung mengalir deras dari dahinya. Ia lupa menyelesaikan tugas yang diberikan Pak Kiai. Bingung, malu dan  takut bercampur menjadi satu. Seketika itu wajahnya pucat-pasi seperti lilin yang habis ditinggal apinya.
Dia hanya bisa terdiam dan menunduk seraya berkata:

“Maaf Pak Kiai, saya lupa.”

“Dun...Dun...” Jawab Pak Kiai.

“Mbok ya o ojo kebat kliwat. Meskipun Bu Nyai menyuruhmu membeli elpiji, tapi jangan tugas sebelumnya”, Lanjut Pak Kiai.

“Inggih. Ngapunten Pak Kiai, “imbuhnya.

“Sekarang kamu seterika bajunya. Tadi Jamal sudah mengambilnya dari atas sebelum hujan turun. Jangan diulangi!!!”, seru Pak Kiai.

Setelah bubar jamaah, Zaidun pun mencari Jamal, teman sekamarnya. Dia berterima kasih atas apa yang telah dilakukan kawannya tadi. Namun Jamal membalasnya dengan senyuman.

“Biasa saja Dun, itu kan sudah menjadi kewajiban bersama. Ibarat bangunan kita harus menjadi pondasi satu sama lain. Harus saling menguatkan dan saling menolong. Bagi saya, tugas Kiai kepada santri menjadi tugas bersama kepada santri yang lain. Tidak boleh saling lempar, apalagi sampai membiarkan tugas tersebut tidak terlaksana. Musibah itu namanya”, nasehat Jamal.

Betapa senang Zaidun mendengar nasihat Jamal. Seumur hidupnya akan terus menjadi pandu bahwa hidup harus saling tolong-menolong. Yang harus dimulai dari sekarang dan sampai kapan pun. Mau tidak mau manusia harus saling mengingatkan dan menguatkan. Karena manusia yang baik adalah memberi manfaat kebaikan bagi yang lain. Selamanya.

Malam harinya, Zaidun melanjutkan tugas amanah menyetrika baju Pak Kiai. Pelajaran tadi siang membuatnya semakin kuat berprinsip bahwa seorang santri selamanya adalah seorang santri. Berbakti dan memberi manfaat kepada sesama hingga mati.



Ahmad Muhson Pengusaha cetak. Pernah menjadi mukimer di Pondok Pesantren Tambak Bening



Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.