Jemuran Pak Kiai
Suatu
ketika, Zaidun, salah seorang santri diutus oleh Pak Kiai untuk mengambil
jemuran pakaian di lantai atas pondok pesantren. Tugas belum selesai, dari
bawah lantai atas, Bu Nyai yang sedang memasak memanggil dan menyuruhnya untuk
belanja gas elpiji yang habis. Sejurus kemudian dia meletakkan jemuran pakaian
di dalam ember cucian dan meletakkannya dibawah tali jemuran begitu saja. Tanpa
ba-bi-bu berangkatlah dia ke toko kelontong langganan santri yang biasa
melayani para santri.
Suasana
warung kelontong tidak seperti biasa, ramai dengan berita heboh virus yang
menyebarluas di bumi. Silang pendapat para pelanggan menyembul begitu saja di
antara mereka, termasuk Zaidun, yang dimintai pendapat Ko Cuan pemilik toko
tersebut. Dia meminta jawaban kepada Zaidun bagaimana cara santri mencegah
virus tersebut bisa menular? Wudlu, jawab Zaidun. Karena dengan menjaga wudlu otomatis
orang yang memiliki wudlu tidak sembarangan bersentuhan dengan benda yang
membatalkan wudlunya.
Wah,
suasana tersebut membuat Zaidun girang karena mendapat apresiasi para audiens
di warung. Dengan wajah tersenyum dia pulang membawa pesanan Bu Nyai. Dengan
cekatan ia memasang elpiji yang baru saja dibelinya. Selesai melaksanakan tugas
dari Bu Nyai, ia bergegas membuka kamarnya dan membuka kitab bab wudlu. Ada
satu pertanyaan bab wudlu yang ragu dijawabnya ketika salah seorang pembeli di
toko Ko Cuan. Walhasil, selesai membaca dan menelaah kitab tersebut dia berhasil
menemukan jawaban dan menyalinnya di secarik kertas.
Adzan
Ashar telah berkumandang bersamaan hujan deras yang datang tiba-tiba. Zaidun
bersiap sholat berjamaah di masjid pondok pesantren. Santri lain sudah menunggu
di sof depan, begitu juga Zaidun. Pujian menunggu sholat berjamaah berhenti
ketika Pak Kiai datang menuju imaman masjid. Rampung sholat berjamaah, Pak Kiai
bertanya kepada Zaidun:
“Dun,
bajunya sudah kamu bawa turun???”
Suara
Pak Kiai terdengar menggelegar di telinga Zaidun. Kagetnya bukan main. Keringat
sebiji jagung mengalir deras dari dahinya. Ia lupa menyelesaikan tugas yang
diberikan Pak Kiai. Bingung, malu dan takut bercampur menjadi satu. Seketika itu
wajahnya pucat-pasi seperti lilin yang habis ditinggal apinya.
Dia
hanya bisa terdiam dan menunduk seraya berkata:
“Maaf
Pak Kiai, saya lupa.”
“Dun...Dun...”
Jawab Pak Kiai.
“Mbok
ya o ojo kebat kliwat. Meskipun Bu Nyai menyuruhmu membeli elpiji, tapi jangan
tugas sebelumnya”, Lanjut Pak Kiai.
“Inggih.
Ngapunten Pak Kiai, “imbuhnya.
“Sekarang
kamu seterika bajunya. Tadi Jamal sudah mengambilnya dari atas sebelum hujan
turun. Jangan diulangi!!!”, seru Pak Kiai.
Setelah
bubar jamaah, Zaidun pun mencari Jamal, teman sekamarnya. Dia berterima kasih
atas apa yang telah dilakukan kawannya tadi. Namun Jamal membalasnya dengan
senyuman.
“Biasa
saja Dun, itu kan sudah menjadi kewajiban bersama. Ibarat bangunan kita harus
menjadi pondasi satu sama lain. Harus saling menguatkan dan saling menolong.
Bagi saya, tugas Kiai kepada santri menjadi tugas bersama kepada santri yang
lain. Tidak boleh saling lempar, apalagi sampai membiarkan tugas tersebut tidak
terlaksana. Musibah itu namanya”, nasehat Jamal.
Betapa
senang Zaidun mendengar nasihat Jamal. Seumur hidupnya akan terus menjadi pandu
bahwa hidup harus saling tolong-menolong. Yang harus dimulai dari sekarang dan
sampai kapan pun. Mau tidak mau manusia harus saling mengingatkan dan
menguatkan. Karena manusia yang baik adalah memberi manfaat kebaikan bagi yang
lain. Selamanya.
Malam
harinya, Zaidun melanjutkan tugas amanah menyetrika baju Pak Kiai. Pelajaran
tadi siang membuatnya semakin kuat berprinsip bahwa seorang santri selamanya
adalah seorang santri. Berbakti dan memberi manfaat kepada sesama hingga mati.
Tidak ada komentar: